Sunday, February 11, 2007

Wayang Suket, tidak Tunduk pada Pakem

JIKA ada pertunjukan wayang yang demikian imajinatif dalam memainkan tokoh-tokohnya, itu adalah pertunjukan wayang suket (rumput) garapan Ki Dalang Slamet Gundono. Apa pasal, sehingga pertunjukan yang digarapnya itu demikian imajinatif? Sebab anak wayang yang dimainkannya itu dibuat dari puluhan batang rumput, yang dirangkai dan dianyam sedemikian rupa. Jenis rumput yang dirangkai dan dianyam sehingga menjadi anak wayang itu adalah jenis rumput alang-alang, rumput gajah, rumput teki, dan mendong yang sering dijadikan tikar mendong.
Dalang Wayang Sukek, Ki Dalang Slamet Gundono berdialog dengan wayang raksasa kolaborasi dengan Jendela Ide dalam pertunjukan di Sabuga Bandung, Sabtu (10/2).* M. GELORA SAPTA/"PR"

Rupa anak wayang yang dibuatnya itu, tentu saja tidak seperti wayang kulit meskipun sama pipihnya. Dalam wayang kulit, kita masih bisa menemukan corak pakaian, dan rupa para tokohnya yang diberi warna dan hiasan sedemikian rupa. Sedangkan dalam wayang suket, hal itu tidak kita temukan. Namun demikian, dari "batang-batang" rumput yang diolah, dirangkai, dan dianyam secara khusus itu, hasilnya ada yang mencitrakan burung, orang, dan bahkan senjata tertentu dengan bentuk yang pipih. Di tanah Sunda, bentuk wayang semacam itu ada kalanya dibuat dari "tangkai" daun ketela pohon.

Pertunjukan wayang suket yang dikreasi Ki Dalang Slamet Gundono menarik perhatian, karena sang dalang ketika memainkan anak wayang yang tengah dipegangnya itu, ada kalanya tidak dimainkan sebagaimana memainkan wayang golek atau wayang kulit. Wayang suket kadang hanya dipegang, atau ditekankan ke dada sang dalang. Pada saat demikian maka yang menari bukan wayang, melainkan sang dalang itu sendiri. Fungsi dalang dalam pertunjukan tersebut, tidak hanya berperan sebagai orang yang memainkan anak wayang, tetapi juga sebagai penari dan penembang sekaligus. Selain itu, waditra (alat musik tradisional) yang ditabuh pun bukan waditra yang lengkap sebagaimana dalam pertunjukan wayang golek maupun wayang kulit. Di dalam pertunjukan wayang suket, ada kalanya Slamet Gundono memanfaatkan alat musik ukulele yang dipetik saat menembang, atau saat menekan suasana pada adegan-adegan tertentu.

Berkait dengan daya kreativitas semacam itu, teaterawan Rendra pernah mengatakan bahwa apa yang dikreasi Ki Dalang Slamet Gundono termasuk dalam jenis wayang kontemporer dengan basis tradisi sebagai titik pijaknya, yakni tradisi wayang kulit, meski tidak sepenuhnya memainkan tradisi tersebut. Apa sebab? Karena ada banyak pakem pertunjukan tradisional yang dilanggarnya.

**

DALAM pertunjukan kali ini yang digelar di salah satu gedung di lingkungan Gedung Sabuga, Jln. Tamansari Bandung, pada Sabtu malam (10/2), Ki Dalang Slamet Gundono tidak memainkan lakon carangan maupun lakon pokok dari cerita wayang sebagaimana yang pernah dipertunjukkan di berbagai tempat. Ia memainkan lakon tanpa alur dan bahkan tanpa konflik. Ini terjadi, karena anak wayang yang dipegangnya itu berinteraksi dengan anak-anak yang tengah digali potensinya untuk ikut berproses kreatif main wayang.

Ada kalanya ketika Ki Dalang Slamet Gundono yang berat tubuhnya mencapai 350 kg itu sedang menembang dan menari, anak-anak dibuat tertawa. Apa sebab? Karena gerak tubuh Ki Dalang Slamet itu sendiri jadi tontonan yang menarik pula. Lantas, apakah ketika menari, tubuh Ki Slamet tampak kaku? Justru tidak. Ia malah tampak lentur. Ki Slamet selain mahir memainkan wayang, baik wayang suket maupun wayang kulit, memang dikenal sebagai penari, pemain teater, dan juga penembang dengan warna vokal yang khas, yang menarik untuk diapresiasi.

Interaksi anak-anak dengan Ki Dalang Slamet dalam pertunjukan sarat dengan gelak-tawa karena pertunjukan yang digelarnya itu bukan pertunjukan yang sudah diskenario sebelumnya. Dengan demikian, dialog antara dalang dengan si anak atau antara si anak dengan si anak yang berlangsung secara spontan itu, sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang lucu ketika apa yang diucapkan oleh si anak kemudian diplesetkan oleh sang dalang.

Pertunjukan wayang suket dengan demikian, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Dalang Slamet Gundono dalam berbagai kesempatan di Bandung, adalah pertunjukan wayang terbuka, yang tidak tunduk pada pakem. Misalnya, ia tidak harus main di atas panggung. Ia bisa main di lapangan tanpa panggung, bisa sambil duduk atau berdiri. "Yang penting dalang bisa menari dan menembang!" jelas Ki Slamet. Pertunjukan wayang suket itu sendiri baru digelar untuk pertamakalinya oleh Ki Slamet Gundono tahun 1999.

**

PERTUNJUKAN wayang suket yang digelar oleh Jendela Ide Cultural Institution for Children & Youth, sebagaimana dikatakan oleh Direktur Jendela Ide, Drs. Andar Manik, memang dipertunjukkan bagi anak-anak dengan tujuan menggali potensi anak dalam berproses kreatif.

"Sesungguhnya sejak sore, Ki Slamet Gendono sudah melakukan workshop bersama anak-anak membuat wayang suket. Sambil bekerja, ia banyak cerita tentang fungsi rumput bagi manusia. Berkait dengan itu masalah lingkungan hidup secara tidak langsung diceritakan Ki Slamet pada anak-anak," jelasnya. (Soni Farid Maulana/"PR")***


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/11/0105.htm

Wednesday, March 01, 2006

dari RoadShow Kampanye Pendidikan untuk Anak - Sanggar Anak Akar

Andy Sutioso | Januari 2006

Cukup mendadak saya dikontak teman saya kang Andar Manik (dari Jendela Ide), mengajak Semi Palar untuk ikut hadir dalam satu kegiatan yang iinisiasi oleh Sanggar Anak Akar, sebagai bagian dari Road Show pertunjukkan mereka ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Saya sebetulnya agak ragu karena sebagai sebuah lembaga pendidikan, Semi Palar masih sangat baru dan muda, dan belum banyak hal yang dilakukan, dibandingkan dengan lembaga lainnya.

Tapi saya pikir, mudah-mudahan Semi Palar bisa hadir dengan menyumbangkan suatu spirit baru bahwa tindakan-tindakan kita untuk pendidikan, untuk anak-anak kita masih jauh dari cukup, dan sekecil apapun kita perlu mencoba melakukan sesuatu.

Tentang Sanggar Akar sendiri saya sudah dengar cukup lama, dan sudah cukup lama saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang komunitas ini dan aktifitas-aktifitasnya. Dari kang Andar, saya mendengar juga bahwa ada beberapa teman dari beberapa komunitas yang akan terlibat. Mendengar lebih jauh tentang event ini minat saya segera tumbuh, dan kemudian kami berusaha melakukan persiapan untuk event ini.

Setelah menset-up materi pameran, keesokan harinya ada kegiatan workshop 2 hari. Di lokasi workshop, saya sangat beruntung bisa berkenalan dengan beberapa teman baru, dengan kiprahnya masing-masing di berbagai 'arena' di bidang pendidikan. Terlepas dari materi dan kegiatan workshop, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan beberapa teman. Dan bincang-bincang singkat ini sangat membuka wawasan saya tentang banyak hal.

Kesan pertama yang saya dapat adalah betapa problem pendidikan kita begitu parahnya, di semua lini. Sederhana melihatnya karena begitu banyak inisiatif teman-teman dari berbagai komunitas di berbagai lokasi untuk melakukan sesuatu untuk pendidikan anak-anak. Sebuah kelompok bergerak di Garut untuk membantu anak-anak buruh tani yang tidak punya kesempatan sekolah. Inisiatif yang dilakukan Boy, Ince dan teman-temannya melalui MT Sururon saya lihat begitu luar biasa, sampai akhirnya saya berpikir 'beruntunglah' di sekitar situ tidak ada sekolah sehingga akhirnya anak-anak tersebut justru dapat sentuhan luar biasa yang bisa sangat memperkaya mereka karena kepedulian teman-teman tadi. Bukan sekedar pendidikan formal yang belum tentu jelas juntrungnya.

Sebagian kecil dari anak-anak jalanan di Jakarta saya lihat juga justru 'sangat beruntung' karena dapat sentuhan dari teman-teman di Sanggar Anak Akar. Mereka justru bisa menemukan diri mereka sendiri tanpa harus duduk di bangku sekolah formal. Apa yang dilakukan oleh relawan Sanggar Anak Akar, mas Ibe Karyanto dan teman-teman justru lebih menyelamatkan mereka dan membawa makna yang lebih nyata daripada sekedar selembar ijazah SD saat mereka bisa duduk di bangku sekolah formal. Dalam diskusi kelompok saya menyampaikan komentar bahwa situasi mereka di Sanggar Anak Akar justru memposisikan mereka 'jauh lebih baik' daripada katakanlah mereka punya uang untuk bisa duduk di bangku sekolah formal.

Dalam diskusi tersebut, saya ada dalam satu kelompok dengan seseorang anak muda dari Sanggar Akar, (kawan, saya minta maaf nama anda lepas dari memori saya, nanti kita jumpa lagi saya pasti ingat anda). Saya tidak akan pernah lupa kesan yang saya dapat dari dia dalam pertemuan itu. Di diskusi itu saya terus berusaha mencatat bahwa dia adalah seorang anak yang hidup dan besar di jalanan di Jakarta. Pertanyaannya, bagaimana bisa dia tampil seperti itu. Percaya diri, penuh wawasan, kritis, berani berpendapat, cerdas - terlepas dari tampilannya yang khas anak muda di jalanan: rambut gondrong, kaos dan celana hitam, sepatu boot dan asesoris ala 'metal'. Kualitas yang justru tidak saya temui di para mahasiswa saat saya mengajar di sebuah ruang kuliah kampus universitas katolik yang (katanya) paling hebat di Bandung. Saya tidak akan pernah lupa perjumpaan ini dan akan selalu jadi catatan kecil yang penting bagi saya.

Kelompok lain, mas Trisno yang hadir mewakili SOS Kinderdorff, adalah kelompok yang menangani anak-anak yatim piatu. Mas Achok, dari kelompok yang menamakan diri Semak (Solidaritas Masyarakat Anak) membantu mendampingi anak-anak jalanan di Bandung, memberikan kesempatan dan pendampingan bagi anak-anak ini untuk bisa berkegiatan secara kreatif lewat berbagai media kesenian. Satu sisi yang saya yakin sangat mereka butuhkan untuk bisa ikut mengatasi kerasnya hidup sehari-hari yang mereka jalani.

Jendela Ide, yang kegiatannya dikoordinasi Marintan dan Andar Manik mencoba mengatasi ketidak-seimbangan materi dan pola belajar dan lebih jauh lagi, membuka pintu untuk anak dan remaja bisa bersentuhan dengan wilayah kebudayaan melalui cara dan suasana yang mudah diterima mereka.

Inisiatif-inisiatif ini, yang istilahkan oleh mas Eddie dari FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat) sebagai partisipasi masyarakat, memberikan gambaran tentang kompleksnya permasalahan pendidikan di Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok dengan inisiatifnya masing-masing tentunya timbul saat sebuah kondisi bermasalah berkembang sampai tingkat tertentu dan inisiatif masyarakat ini muncul sebagai reaksi balik terhadap permasalahan tersebut.

Dari berbagai lapisan dan kondisi masyarakat, ternyata inisiatif masyarakat melalui orang-orang yang peduli bermunculan. Mulai dari daerah terpencil di pedesaan di Garut, anak-anak jalanan di kota besar, anak-anak Yatim Piatu, sampai ke kalangan anak-anak yang sebetulnya punya kesempatan untuk duduk di bangku sekolah dan mengecap pendidikan. Masing-masing hadir dengan permasalahannya sendiri-sendiri.

Solusi yang komprehensif untuk permasalahan ini saya kira sangat sulit dicapai dengan kondisi kita sekarang ini, termasuk oleh ketidak-mampuan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ini. Dalam banyak hal, jelas bahwa inisiatif masyarakat jauh lebih jitu untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan dipahami secara langsung oleh masyarakat, khususnya oleh mereka yang punya kepedulian.

Di titik ini, yang kita perlukan adalah usaha untuk memetakan kelompok-kelompok yang ada. Dari event di Taman Budaya ini, saya yakin hanya sedikit yang tampil dan kebetulan bisa bertemu. Tentunya akan sangat bermanfaat kalau masing-masing kelompok dengan wilayah gerak dan orientasi bisa saling mengenal dan berinteraksi, bahkan saling belajar satu sama dari yang lain. Dengan cara ini, tentunya peluang untuk bekerja sama dan bersinergi bisa sangat terbuka.

Dari sisi pemerintah dan birokrasi, akan sangat bijaksana kalau bisa merangkul dan memberi kepercayaan bahkan memfasilitasi kelompok-kelompok ini untuk lebih mudah bergerak. Yang dibutuhkan adalah bukan regulasi dan pengaturan-pengaturan yang kaku dan tidak jelas juntrungannya. Kalaupun belum bisa berbentuk apresiasi, kepercayaan akan sangat membantu kelompok-kelompok ini untuk bergerak membantu masyarakat, dan sebetulnya membantu pemerintah melaksanakan tugasnya melayani masyarakat.

Untuk saya pribadi, saya sungguh merasa beruntung bisa hadir di kegiatan ini. Sangat membuka mata dan wawasan, selain untuk mengingatkan dan merefleksi bahwa apa yang dilakukan teman-teman di wilayah yang sama, di wilayah pendidikan adalah sangat luar biasa... Semoga saya juga teman-teman di Smipa punya kesempatan untuk belajar dari mereka.

Di hari pertunjukkan Nyanyian Para Boneka yang ditampilkan Sanggar Anak Akar, saya hadir bersama anak saya Inka (9 tahun). Sebuah pertunjukkan luar biasa dari awal hingga akhir... alur cerita, tata musik, koreografi, tata panggung, kostum, semuanya. Saat menyaksikannya lagi saya harus berusaha terus mengingatkan diri bahwa pagelaran ini adalah karya anak-anak yang sehari-hari hidup dan besar di jalanan, dengan segala tantangan dan problematika yang mereka hadapi. Di panggung teater tertutup Taman Budaya mereka tampil, sekali lagi, luar biasa.

Saya sangat tersentuh menyaksikannya, mencatat dalam batin bahwa kepedulian yang sejati bisa punya kekuatan luar biasa. Memfasilitasi siapapun dalam kondisi apapun melalui apa yang kita istilahkan sebagai pendidikan - dengan cara yang tepat - punya kekuatan untuk mentransformasi.

Bagi anak-anak Sanggar Akar sebagian besar dari mereka akan tetap hidup di jalanan. Dan memang mungkin sebagian dari mereka memilih untuk hidup di jalanan. Tapi memilih atas kesadaran penuh atas situasional dirinya, termasuk atas potensi dan kekuatan yang dimilikinya.

Melalui tampilnya mereka di atas panggung, mereka punya harga diri, melalui apa yang dikerjakannya mereka punya percaya diri. Saat mereka berdiri di panggung menerima applause dari penonton, mudah-mudahan mereka mendapatkan siraman keyakinan atas eksistensi diri mereka, yang menumbuhkan mereka sebagai seorang individu, seorang manusia.

Mudah-mudahan anak saya juga bisa merefleksi dan kesempatan ini jadi sesuatu yang juga menyentuh dia. Buat kita, buat anak-anak kita, seharusnya kita harus berbuat lebih baik dan bisa jadi lebih baik dari mereka...

Seperti apa yang disemboyankan teman-teman di sanggar anak akar : untuk anak-anak, pemilik masa depan, pendidikan tidak bisa ditunda.

Catatan kaki :

tulisan ini dirangkai sebagai catatan pengalaman dari kegiatan di Taman Budaya Jawa Barat yang merupakan bagian dari Road Show Kampanye Pendidikan untuk Anak (Solo, Malang, Yogyakarta, Bandung) yang diselenggarakan Sanggar Anak Akar. Kepanitiaan kegiatan di Bandung - Jawa Barat ditangani oleh Jendela Ide.

Sumber: http://www.semipalar.net/tulisan/tulisan11.html

Sunday, January 01, 2006

A Tribute to Madam Chiang

A Tribute to Madam Chiang merupakan judul yang disepakati sebagai sebuah penghargaan pada Madam Chiang Yu Tie, saat ini hampir mencapai usia 90 tahun, seorang guru yang tak lelah membagi kemampuan unik dalam menulis kaligrafi, melukis & membuat puisi.

Dalam pameran ini tampil karya seorang Master dan Guru Chinese Painting di Indoneseia karya Ibu Teng Moe Yin, putri Madam Chiang, seorang pelukit yang lebih senang menyebut dirinya pengajar, serta karya studi dua orang murid Ibu Teng Moe Yin: Bintang Manira Manik yang telah menekuni Chinese Painting selama dua tahun dan ibu Retno Hardjoko yang baru satu tahun bergabung.

Chiang Yu Tie
Lahir sekitar tahun 1917 di kabupaten Fuyang propinsi Zhejiang, Tiongkok. Berkarya sejak usia sekolah dan mulai berpameran tahun 1942. Tahun 1945 lulus Akademi Seni Lukis Negeri Xinxi, Chongqing. Pada masa awal melukis figur perempuan dengan inspirasi dari novel klasik 'Impian di Rumah Merah' atau 'Hou Lou Meng', selanjutnya pemandangan dengan flora& fauna menjadi fokus karya-karyanya. Salah satu ciri yang menandai karya-karya Madame Chiang adalah pembubuhan puisi atau epigram pada sisi kiri atau kanan yang sesuai dengan lukisannya. Tahun 1948 bersama suaminya merantau dan menetap di Bandung. Selain berkarya, kemudian memilih bergerak dalam pendidikan informal. Berbagai penghargaan lokal maupun internasional diterimanya, diantaranya tahun 1995 Golden Award untuk lomba seni Lukis dan kaligrafi sejagad 'Jun-Long Cup'.

Teng Moe Yin
Lahir di Bandung 1952. Berguru kepada ibunya dan kemudian belajar melukis pada bapak Barli Sasmitawinata. Memperdalam bakat seni di Art Department of Che Chiang, Cina dan melakukan penelitian seni lukis dinding Dun Huang di Tiongkok. Anggota Persatuan Pelukis Cat Air Indonesia serta mengikuti berbagai pameran di dalam maupun di luar negeri. Puluhan tahun menjadi guru Chinese Painting, salah satu diantaranya di Jendela Ide.

Retno Hadjoko
Lahir 62 tahun yang lalu & berprofesi sebagai dokter. Belajar melukis cat minyak pada bapak Barli Sasmitawinata. Sejak 2004 belajar Chinese Painting di Jendela Ide dengan objek favoritnya pemandangan dan bunga. Pameran pertama tahun 2005 dalam event Jendela Oriental.

Bintang Manira Manik
Berusia 13 tahun. Sejak kecil mencintai dunia seni rupa, teater dan musik, berawal dari rumah dan kemudian disalurkan di Jendela Ide. Mendapat penghargaan dalam beberapa kompetisi seni lukis sejak usia Taman Kanak-kanak. Berpartisipasi dalam pertunjukan & Pameran sejak 1998. Belajar Chinese Painting sejak tahun 2002 di Jendela Ide pada ibu Teng Moe Yin dengan binatang seabgai objek yang paling disukai. Mengikuti pameran Chinese Painting 'Jendela Ide Oriental' tahun 2005. Di samping Chinese Painting, Bintang bermain perkusi dengan jendela Ide Kids Percussion. Saat ini duduk di kelas I SMP Providentia.

Acara ini terselenggara berkat kerjasama Common Room dan Jendela Ide

Sumber: http://commonroom.info/news/2005_12_01_x.html

Thursday, November 17, 2005

Java Jazz Festival Gallery

Di halaman ini ada foto-foto Jendela Ide Kids Percussion ketika main di Java Jazz Festival

Wednesday, November 16, 2005

Liburan ke Bandung sambil nonton musik jazz di udara terbuka

Sebuah pertunjukan di udara terbuka dilingkungan sebuah lembaga pendidikan akan digelar akhir pekan ini Sabtu, 24 September 2005 di Kota Kembang, Bandung. Sekitar tujuh kelompok yang rata-rata musisi jazz pemula di Bandung akan unjuk kebolehan dalam sebuah acara bertajuk Jendela Jazz.

Kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati 10 tahun Jendela Ide, dimulai sejak bulan April, dimana setiap bulannya, Jendela Ide menyelenggarakan program pertunjukan beragam jenis musik untuk apresiatif. Setelah bulan-bulan sebelumnya program tersebut diisi diantaranya oleh “Musik Oriental”, “Musik Latin-Salsa”, dll., untuk bulan September ini, bekerjasama dengan KlabJazz dan didukung oleh WartaJazz.com rencananya akan diisi dengan ”Musik Jazz”.

Pertunjukan yang akan menampilkan kelompok asal bandung yakni Brew Ensemble, Edward Trio, Pineapple, Bandung String Trio, Jendela Ide Kids Percussion, Erlan Effendy dan Sekapur Sirih digelar di Deutsche Schule Bandung – Jendela Ide, Jl. Kyai Gede Utama 12 Bandung pukul 18.30 hingga selesai dengan tanda masuk Rp. 10.000,- Informasi lebih lanjut silakan menghubungi Jendela Ide Telp. 022 2501925 atau KlabJazz – Niman 08172388862.

***

KLABJAZZ.
KlabJazz adalah sebuah perkumpulan/klab yang berkecimpung dalam usaha memasyarakatkan musik jazz melalui beragam kegiatan, di antaranya; Pertemuan Mingguan setiap hari Minggu sore untuk apresiasi musik jazz, yang hingga saat ini telah diisi dengan pemutaran video-video jazz, diskusi musik jazz, serta penyelenggaraan berbagai pertunjukan musik jazz. Informasi lebih lanjut mengenai kiprah mereka dapat disimak di http://www.commonroom.info/klabs/jazz

JENDELA IDE
Jendela Ide adalah sebuah wadah aktivitas anak dan remaja, yang bertujuan menstimulir perspektif budaya anak dan remaja, melalui berbagai kegiatan senirupa, teater, bahasa-sastra, olah bunyi dan gerak, yang diwujudkan dalam program berkreasi, pameran, pertunjukan, pemutaran film, diskusi, pelatihan, penulisan dan pendokumentasian. Kegiatan Jendela Ide berasaskan penghargaan terhadap: kreativitas, keunikan individu/kelompok, keberagaman, serta pemahaman silang budaya. Info lebih lanjut silakan buka http://www.jendelaide.blogspot.com

***

Tentu tidak lengkap jika kita tidak menyimak mereka yang berencana akan tampil dalam kegiatan kali ini. Selengkapnya kami sajikan dalam tulisan berikut:

BREW ENSEMBLE
Brury Effendi – trumpet; Julianus - trumpet. Arief Rinoko – alto saxophone; Ivan Indramsyah – trombon; Mira – tenor saxophone; Edward Prasetya – gitar; Edward Manurung – drum; Lindu – elektrik bass & Donny Herdanto – keyboard.

Brew Ensemble adalah salahsatu kelompok yang lahir dari Latihan Bersama Jazz (LaBJazz) bersama Imam Pras dan Rudy Aru. Awalnya disiapkan untuk meramaikan peristiwa JazzAID; Konser Untuk Korban Tsunami yang diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Perancis – CCF de Bandung oleh KlabJazz di awal Februari lalu. Juga turut meramaikan juga, bahkan membuka penyelenggaraan musik jazz yang diselenggarakan juga oleh KlabJazz bertajuk Pekan Jazz Priangan di pertengahan bulan Juli yang lalu sebagai penampil pertama dari 39 kelompok musik jazz yang tampil selama enam malam tersebut. Akhir Agustus Brew Ensemble diberi kehormatan untuk tampil sebagai kelompok pembuka konser amal Zagreb Jazz Orkestar di Ramayana Room, Hotel Grand Preanger.

Brew Ensemble berpusat pada lima atau lebih anggota yang khusus memegang instrumen tiup; dua terompet, satu saxophone alto, satu saxophone tenor/bariton, satu trombone dan kadang satu flute. Oleh karenanya rhythm section kadang berubah-ubah.

Repertoir mereka cenderung memilih komposisi-komposisi musik era hardbop yang kental dengan elemen funk dan groove.

EDWARD TRIO
Edward Prasetya - elektrik gitar; Lindu Muliantara – elektrik bass & Edward Manurung – drum.

Tiga personil Brew Ensemble yang memberanikan diri tampil dalam format trio. Dimotori oleh gitaris Edward Prasetya. Repertoir mereka cenderung lebih ke komposisi-komposisi musik neo hardbop karya Miles Davis dan John Coltrane dengan sedikit elemen rock gaya John Scofield.

Tampil pertama kali di Pekan Jazz Priangan, Edward saat itu dibantu oleh rekan-rekannya dua personil Trancemission Quintet, bassi Christian dan drummer … Sementara di Friday Night Jazz@The Cellar, Edward sempat dibanru oleh bassis Rudy Aru (yang memainkan elektrik bass) dan drummer Opik.

PINEAPPLE
Ahmad Indra – gitar; Sartono – keyboard; Dicky – saxophone/flute. Sonny – bass. Ule – drum.

Kelompok yang terdiri dari para murid gitaris jazz senior kota Bandung Venche Manuhutu. Nama Pineapple pertamakali tampil di Pekan Jazz Priangan bulan Juli yang lalu. Ini adalah untuk ketiga kalinya Pineapple tampil di hadapan publik. Gitaris utamanya, Ahmad Indra pertamakali tampil untuk di acara KlabJazz, saat ia masih bergabung bersama kawan-kawan klassiknya di KlabKlassik dan tampil di acara JazzAid di CCF bulan Februari yang lalu.

BANDUNG STRING TRIO
Ammy Kurniawan – elektrik biola; Didin – elektrik gitar; Balqi Lesmana – elektrik bass.

Bandung String Trio berpusat pada pemain biola Ammy Kurniawan. Salahsatu “peniti” dari 4 Peniti. Nama Bandung String Trio diperkenalkan untuk pertamakali pada acara Bandung Jazz Statement Desember tahun lalu. Awalnya adalah proyek untuk memperkenalkan ke hadapan publik bahwa format baku (dengan drum dan atau keyboard) tidak merupakan suatu keharusan dalam mendirikan sebuah “working group”. Bassis dan gitaris berganti-ganti, kadang Rudy Aru dan Hery Wijaya bermain pada bass akustik, dan kadang Rizky Diansyah dan Ardi memainkan gitar.

Walau awalnya dimaksud untuk menunjukan kekuatan tiga instrumen string akustik, namun pada Jendela Jazz ini Bandung String Trio akan berembel-embel “Electric” menjadi Bandung Electric String Trio.

JENDELA IDE KIDS PERCUSSION
Jendela Ide Kids Percussion didirikan tiga tahun yang lalu, sebagai salah satu bentuk kegiatan dari kegiatan budaya yang diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja yang diselenggarakan oleh Jendela Ide (JI). Awalnya terkumpul dua puluh anak-anak dan remaja yang mempelajari rebana dibawah bimbingan Jaelani, fasilitator JI untuk musik anak-anak. Melalui proses tersebut terkumpul beberapa anak yang meminati lebih jauh untuk mempelajari alat musik Afrika djembe. Kemudian JI mengundang fasilitator Adjierao dan Atmo untuk mengajari mereka secara berkala, hingga akhirnya terbentuk kelompok perkusi anak yang solid. Jendela Ide Kids Percussion (JIKP) dan Jendela Ide Junior Percussion kemudian pun sering tampil pada penyelenggaraan seni dan budaya di Bandung maupun di Jakarta. Tahun 2004 JIKP turut serta dalam workshop perkusi bersama penabuh djembe asal Burkina Faso, Afrika, dan beserta komponis Tomoko asal Tokyo Jepang.

Tahun ini JIKP sempat tampil di JazzAID Konser di CCF-Bandung, Java Jazz Festival di JHCC-Jakarta, serta menjadi kelompok pembuka pertunjukan musik jazz Trio Dingo asal Australia di Aula Timur ITB.

ERLAN EFFENDY
Vokalis kelompok Top40 Bandung ternama Wachdach ini pernah mengungkapkan keinginan pribadinya untuk juga mencoba tampil menyanyikan karya-karya standard dengan irama swing. Mungkin akan tampil dengan karya-karya rb-jazz seperti karya-karya Al Jarreau dan Michael Buble, namun hingga tulisan ini dibuat belum menemukan kelompok pengiring yang pasti. Kita lihat saja…

SEKAPUR SIRIH
Prasandhya - elektrik bass; Bonar Noviasta - gitar; Andreas Nandhiwardana - gitar; Lukman Agus - drum; Rara Utami– keyboard.

Kelompok musik yang beranggotakan anak-anak Unit Apres(iasi) ITB. Pertamakali dikenal oleh KlabJazz pada saat penyelenggaraan Ganesha Jazz Event, yang juga diselenggarakan oleh Unit Apres ITB bekerjasama dengan KlabJazz (kemudian beberapa di antara mereka pun aktif membantu pada kegiatan-kegiatan KlabJazz). Repertoir SekSi berkisar pada karya-karya akustik fusion Acoustic Alchemy dan Lee Ritenour. Sejak itu SekSi selalu tampil pada event-event KlabJazz; JazzAID, Gerbang Jazz Unpad hingga Pekan Jazz Priangan. Dan mulai sering diundang pada event-event jazz di kota Bandung, seperti pada Jazztastic dan acara-acara kampus di kota Bandung. Hadirnya aktivis KlabJazz termuda pianis Rara Utami (16 tahun) pada formasi SekSi menjadikan SekSi berubah menjadi quintet, walau sebelumnya juga pernah mencoba menghadirkan pemusik akordeon dan saxopon. (*/Agus Setiawan B/WartaJazz.com)

Sumber: http://www.wartajazz.com/news/news200905.html

Friday, August 19, 2005

Pendidikan Komunitas, Solusi di Tengah Krisis?

Bukan untuk Mengontradiksikan dengan Kurikulum dan Paradigma yang Dijalankan Pemerintah

"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." (Pasal 31 Amendemen UUD 1945 ayat 1 dan ayat 2).

GENAP 60 tahun sudah, sejak proklamasi kemerdekaan negeri ini digaungkan oleh dua founding fathers, Soekarno-Hatta. Melihat fakta kehidupan sosial berbangsa dewasa ini, sulit untuk tidak mengakui bahwa masih banyak ketimpangan dan persoalan pelik yang tetap saja menggerogoti kehidupan bangsa ini.

Pendidikan adalah potret nyata betapa kemerdekaan sejatinya baru dalam tataran de jure. Sebab, de facto mayoritas warga negeri ini masih harus bercucuran keringat deras, air mata, bahkan darah untuk memenuhi pendanaan pendidikan anak-anak mereka.

Fakta tersebut menambah panjang kisah memilukan pendidikan di negeri ini yang penuh ironi. Betapa masih menggantungnya persoalan-persoalan pelik dalam sistem pendidikan kita. Mulai dari runtuhnya kewibawaan guru karena beragam sebab, robohnya bangunan-bangunan sekolah di tengah semakin mewabahnya gejala konsumtivisme, seiring berdirinya ribuan mal dan pusat perbelanjaan, eksperimen kurikulum dengan grand design yang tidak jelas, komersialisme dunia pendidikan, hingga degradasi mutu.

Pendidikan komunitas

Toh, di tengah gejala termarginalkannya upaya peningkatan kualitas pendidikan secara serius oleh pemerintah muncul fenomena sosial tersendiri di tengah masyarakat. Seakan ingin membuktikan secara nyata konsep civil society (masyarakat madani), pada paruh kedua dekade reformasi semakin banyak kelompok masyarakat yang membangun model pendidikan sendiri. Umumnya, model ini berupaya menjawab sendiri kebutuhan akan kesamaan kesempatan belajar dan meningkatkan kualitas anak.

Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat menawarkan konsep pendidikan yang terjangkau, ketika lembaga pendidikan formal berperilaku layaknya saudagar. Dalam konsep mereka, tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, yang sebenarnya tak lagi menampilkan kesejatian hakikat pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan.

Beberapa pegiat pendidikan di komunitas --istilah untuk konsep pendidikan alternatif tersebut-- berkumpul di Kota Bandung untuk melaksanakan workshop bertajuk "Inisiatif Masyarakat Membangun Model Pendidikan untuk Anak" di Aula Taman Budaya Jabar, 18-19 Agustus ini. Beberapa pegiat, aktivis LSM, akademisi yang hadir antara lain Andar Manik (Jendela Ide), Sutrisno Setiawan (SOS Kinderdof), Marintan Sirait, Valentina Sagala (Institut Perempuan), Ridwan Intje (MTs Sururon Garut), Susilo Adi Negoro (Sanggar Akar), dll.

"Kegiatan ini sekaligus merupakan pemetaan berbagai lembaga pendidikan di komunitas. Terkait dengan momen awal tahun ajaran baru, ini juga menjadi kampanye pengembangan pendidikan bagi anak. Selain workshop, digelar road show pameran karya dan seni pertunjukan komunitas anak," ungkap koordinator workshop, Andar Manik.

Ajang ini menjadi penting, ketika muncul pertanyaan yang mengaitkannya dengan grand design pendidikan nasional yang diusung pemerintah.

Apakah dalam grand design pendidikan nasional, model pendidikan komunitas bakal mendapat pengakuan? Bagaimanakah model pendidikan yang diinisiasi masyarakat ini, dikaitkan dengan UU Sisdiknas serta birokrasi pendidikan dengan sejumlah regulasinya? Bagaimana peluang menempatkan model pendidikan komunitas dalam garis kebijakan pendidikan nasional?

"Kami tak hendak mengontradiksikan model pendidikan yang kami inisiasi dengan kurikulum maupun paradigma yang dijalankan pemerintah. Kami menawarkan pelengkap di tengah kondisi yang kami nilai masih banyak kelemahan," tuturnya.

Harapan mereka, pemerintah tidak malah bersikap resisten atas model pendidikan alternatif yang ditawarkan. Model pendidikan alternatif itu sekadar menawarkan jawaban sederhana: pendidikan sebagai medium pembebas, bukan pemberi beban (moril dan materiil). (Erwin Kustiman/"PR")***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/19/0302.htm

Friday, August 05, 2005

First Day's Notes from Art Camp's Public Presentation

The first day of Art Camp, begin with lectures in Selasar Sunaryo Artspace that split into two sessions. The participant involve in this program until late in the afternoon. They use public transportation to set off from their accommodation site toward lecture's venue as well as the excursion location. This is part of the Art Camp Program that requiring the participant to utilize public transportation. After a quite intense session, the participant engages in an excursion to Jendela Ide. In this place, they are making interaction with the kids from Jendela Ida Kids Percussion and discovering Jendela Ide's Programs as a cultural center for children and teen.

The day ends with presentations from Art Camp's participants. This program takes place in CCF presenting 10 students in 2 sessions. In general, the European participants disclosing responds to their social environs. As a case, Nanna Debois Buhl's works offering interesting approach as it is presenting gender and feminism topic as a minor issue in North Europe. On the other side, the Asia's participants seem more stimulate in revealing their individual aspect and their own anxiety. Nonetheless, their works still based on social problem encircle them, as it revealed in the video and photographs by Erik Pauhrihzi (Indonesia) and animation by Nareerud Sompong.

Some of the participants seem wearing by their day's programs. But some of them still find some strength to sightseeing Bandung and its Saturday's night crowd and doing their 36 Frames Workshop.


Bahasa Indonesia
Catatan dari Public Presentasi Art Camp Hari Pertama
Hari pertama gelaran Art Camp dimulai dengan lecture yang dibagi menjadi dua sesi di Selasar Sunaryo Art Space. Para peserta mengikuti sesi ini hingga sore tadi. Peserta Art Camp menggunakan angkutan kota sebagai alat transportasi dari tempat mereka menginap ke tempat-tempat yang telah ditentukan untuk mengikuti lecture ataupun ekskursi. Ini memang bagian dari program Art Camp yang mengharuskan mereka untuk mencoba angkutan umum di Bandung. Setelah kegiatan yang cukup serius, peserta pun mengadakan ekskursi ke Jendela Ide. Di sana mereka bisa bermain bersama anak-anak dari Jendela Ide Kids Percussion dan mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jendela Ide sebagai pusat budaya untuk anak-anak dan remaja.

Kegiatan hari ini ditutup dengan presentasi peserta Art Camp. Ini dilakukan di CCF menghadirkan 10 siswa terbagi dalam 2 sesi. Pada umumnya peserta dari Eropa menampilkan respon terhadap keadaan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Contohnya seperti karya dari Nanna Debois Buhl. Karyanya menarik karena membicarakan gender dan feminisme di Eropa Utara, di mana isu itu tampaknya tidak lagi dilihat sebagai masalah besar. Berbeda dengan peserta dari Asia, karya-karya mereka lebih 'individual' dalam pengertian, generasi Asia pada saat ini lebih berani mengungkapkan sisi individual dan kegelisahan-kegelisahan individu. Meski tetap berakar dari konteks persoalan sosial yang ada di sekeliling mereka, seperti yang nampak pada video dan foto-foto karya Erik Pauhrihzi (Indonesia) dan animasi karya Nareerud Sompong.

Sebagian peserta merasa lelah dengan kegiatan yang mereka lakukan hari ini. Namun tidak sedikit peserta yang melanjutkan jalan-jalan dan mengerjakan workshop 36 Frames sambil menikmati Bandung di malam minggu.

Sumber: http://commonroom.info/bcfnma/artcamp2005/2005/08/first-days-notes-from-art-camps-public.html
<<< back to Jendela Ide