dari RoadShow Kampanye Pendidikan untuk Anak - Sanggar Anak Akar
Cukup mendadak saya dikontak teman saya kang Andar Manik (dari Jendela Ide), mengajak Semi Palar untuk ikut hadir dalam satu kegiatan yang iinisiasi oleh Sanggar Anak Akar, sebagai bagian dari Road Show pertunjukkan mereka ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Saya sebetulnya agak ragu karena sebagai sebuah lembaga pendidikan, Semi Palar masih sangat baru dan muda, dan belum banyak hal yang dilakukan, dibandingkan dengan lembaga lainnya.
Tapi saya pikir, mudah-mudahan Semi Palar bisa hadir dengan menyumbangkan suatu spirit baru bahwa tindakan-tindakan kita untuk pendidikan, untuk anak-anak kita masih jauh dari cukup, dan sekecil apapun kita perlu mencoba melakukan sesuatu.
Tentang Sanggar Akar sendiri saya sudah dengar cukup lama, dan sudah cukup lama saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang komunitas ini dan aktifitas-aktifitasnya. Dari kang Andar, saya mendengar juga bahwa ada beberapa teman dari beberapa komunitas yang akan terlibat. Mendengar lebih jauh tentang event ini minat saya segera tumbuh, dan kemudian kami berusaha melakukan persiapan untuk event ini.
Setelah menset-up materi pameran, keesokan harinya ada kegiatan workshop 2 hari. Di lokasi workshop, saya sangat beruntung bisa berkenalan dengan beberapa teman baru, dengan kiprahnya masing-masing di berbagai 'arena' di bidang pendidikan. Terlepas dari materi dan kegiatan workshop, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan beberapa teman. Dan bincang-bincang singkat ini sangat membuka wawasan saya tentang banyak hal.
Kesan pertama yang saya dapat adalah betapa problem pendidikan kita begitu parahnya, di semua lini. Sederhana melihatnya karena begitu banyak inisiatif teman-teman dari berbagai komunitas di berbagai lokasi untuk melakukan sesuatu untuk pendidikan anak-anak. Sebuah kelompok bergerak di Garut untuk membantu anak-anak buruh tani yang tidak punya kesempatan sekolah. Inisiatif yang dilakukan Boy, Ince dan teman-temannya melalui MT Sururon saya lihat begitu luar biasa, sampai akhirnya saya berpikir 'beruntunglah' di sekitar situ tidak ada sekolah sehingga akhirnya anak-anak tersebut justru dapat sentuhan luar biasa yang bisa sangat memperkaya mereka karena kepedulian teman-teman tadi. Bukan sekedar pendidikan formal yang belum tentu jelas juntrungnya.
Sebagian kecil dari anak-anak jalanan di Jakarta saya lihat juga justru 'sangat beruntung' karena dapat sentuhan dari teman-teman di Sanggar Anak Akar. Mereka justru bisa menemukan diri mereka sendiri tanpa harus duduk di bangku sekolah formal. Apa yang dilakukan oleh relawan Sanggar Anak Akar, mas Ibe Karyanto dan teman-teman justru lebih menyelamatkan mereka dan membawa makna yang lebih nyata daripada sekedar selembar ijazah SD saat mereka bisa duduk di bangku sekolah formal. Dalam diskusi kelompok saya menyampaikan komentar bahwa situasi mereka di Sanggar Anak Akar justru memposisikan mereka 'jauh lebih baik' daripada katakanlah mereka punya uang untuk bisa duduk di bangku sekolah formal.
Dalam diskusi tersebut, saya ada dalam satu kelompok dengan seseorang anak muda dari Sanggar Akar, (kawan, saya minta maaf nama anda lepas dari memori saya, nanti kita jumpa lagi saya pasti ingat anda). Saya tidak akan pernah lupa kesan yang saya dapat dari dia dalam pertemuan itu. Di diskusi itu saya terus berusaha mencatat bahwa dia adalah seorang anak yang hidup dan besar di jalanan di Jakarta. Pertanyaannya, bagaimana bisa dia tampil seperti itu. Percaya diri, penuh wawasan, kritis, berani berpendapat, cerdas - terlepas dari tampilannya yang khas anak muda di jalanan: rambut gondrong, kaos dan celana hitam, sepatu boot dan asesoris ala 'metal'. Kualitas yang justru tidak saya temui di para mahasiswa saat saya mengajar di sebuah ruang kuliah kampus universitas katolik yang (katanya) paling hebat di Bandung. Saya tidak akan pernah lupa perjumpaan ini dan akan selalu jadi catatan kecil yang penting bagi saya.
Kelompok lain, mas Trisno yang hadir mewakili SOS Kinderdorff, adalah kelompok yang menangani anak-anak yatim piatu. Mas Achok, dari kelompok yang menamakan diri Semak (Solidaritas Masyarakat Anak) membantu mendampingi anak-anak jalanan di Bandung, memberikan kesempatan dan pendampingan bagi anak-anak ini untuk bisa berkegiatan secara kreatif lewat berbagai media kesenian. Satu sisi yang saya yakin sangat mereka butuhkan untuk bisa ikut mengatasi kerasnya hidup sehari-hari yang mereka jalani.
Jendela Ide, yang kegiatannya dikoordinasi Marintan dan Andar Manik mencoba mengatasi ketidak-seimbangan materi dan pola belajar dan lebih jauh lagi, membuka pintu untuk anak dan remaja bisa bersentuhan dengan wilayah kebudayaan melalui cara dan suasana yang mudah diterima mereka.
Inisiatif-inisiatif ini, yang istilahkan oleh mas Eddie dari FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat) sebagai partisipasi masyarakat, memberikan gambaran tentang kompleksnya permasalahan pendidikan di Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok dengan inisiatifnya masing-masing tentunya timbul saat sebuah kondisi bermasalah berkembang sampai tingkat tertentu dan inisiatif masyarakat ini muncul sebagai reaksi balik terhadap permasalahan tersebut.
Dari berbagai lapisan dan kondisi masyarakat, ternyata inisiatif masyarakat melalui orang-orang yang peduli bermunculan. Mulai dari daerah terpencil di pedesaan di Garut, anak-anak jalanan di kota besar, anak-anak Yatim Piatu, sampai ke kalangan anak-anak yang sebetulnya punya kesempatan untuk duduk di bangku sekolah dan mengecap pendidikan. Masing-masing hadir dengan permasalahannya sendiri-sendiri.
Solusi yang komprehensif untuk permasalahan ini saya kira sangat sulit dicapai dengan kondisi kita sekarang ini, termasuk oleh ketidak-mampuan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ini. Dalam banyak hal, jelas bahwa inisiatif masyarakat jauh lebih jitu untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan dipahami secara langsung oleh masyarakat, khususnya oleh mereka yang punya kepedulian.
Di titik ini, yang kita perlukan adalah usaha untuk memetakan kelompok-kelompok yang ada. Dari event di Taman Budaya ini, saya yakin hanya sedikit yang tampil dan kebetulan bisa bertemu. Tentunya akan sangat bermanfaat kalau masing-masing kelompok dengan wilayah gerak dan orientasi bisa saling mengenal dan berinteraksi, bahkan saling belajar satu sama dari yang lain. Dengan cara ini, tentunya peluang untuk bekerja sama dan bersinergi bisa sangat terbuka.
Dari sisi pemerintah dan birokrasi, akan sangat bijaksana kalau bisa merangkul dan memberi kepercayaan bahkan memfasilitasi kelompok-kelompok ini untuk lebih mudah bergerak. Yang dibutuhkan adalah bukan regulasi dan pengaturan-pengaturan yang kaku dan tidak jelas juntrungannya. Kalaupun belum bisa berbentuk apresiasi, kepercayaan akan sangat membantu kelompok-kelompok ini untuk bergerak membantu masyarakat, dan sebetulnya membantu pemerintah melaksanakan tugasnya melayani masyarakat.
Untuk saya pribadi, saya sungguh merasa beruntung bisa hadir di kegiatan ini. Sangat membuka mata dan wawasan, selain untuk mengingatkan dan merefleksi bahwa apa yang dilakukan teman-teman di wilayah yang sama, di wilayah pendidikan adalah sangat luar biasa... Semoga saya juga teman-teman di Smipa punya kesempatan untuk belajar dari mereka.
Di hari pertunjukkan Nyanyian Para Boneka yang ditampilkan Sanggar Anak Akar, saya hadir bersama anak saya Inka (9 tahun). Sebuah pertunjukkan luar biasa dari awal hingga akhir... alur cerita, tata musik, koreografi, tata panggung, kostum, semuanya. Saat menyaksikannya lagi saya harus berusaha terus mengingatkan diri bahwa pagelaran ini adalah karya anak-anak yang sehari-hari hidup dan besar di jalanan, dengan segala tantangan dan problematika yang mereka hadapi. Di panggung teater tertutup Taman Budaya mereka tampil, sekali lagi, luar biasa.
Saya sangat tersentuh menyaksikannya, mencatat dalam batin bahwa kepedulian yang sejati bisa punya kekuatan luar biasa. Memfasilitasi siapapun dalam kondisi apapun melalui apa yang kita istilahkan sebagai pendidikan - dengan cara yang tepat - punya kekuatan untuk mentransformasi.
Bagi anak-anak Sanggar Akar sebagian besar dari mereka akan tetap hidup di jalanan. Dan memang mungkin sebagian dari mereka memilih untuk hidup di jalanan. Tapi memilih atas kesadaran penuh atas situasional dirinya, termasuk atas potensi dan kekuatan yang dimilikinya.
Melalui tampilnya mereka di atas panggung, mereka punya harga diri, melalui apa yang dikerjakannya mereka punya percaya diri. Saat mereka berdiri di panggung menerima applause dari penonton, mudah-mudahan mereka mendapatkan siraman keyakinan atas eksistensi diri mereka, yang menumbuhkan mereka sebagai seorang individu, seorang manusia.
Mudah-mudahan anak saya juga bisa merefleksi dan kesempatan ini jadi sesuatu yang juga menyentuh dia. Buat kita, buat anak-anak kita, seharusnya kita harus berbuat lebih baik dan bisa jadi lebih baik dari mereka...
Seperti apa yang disemboyankan teman-teman di sanggar anak akar : untuk anak-anak, pemilik masa depan, pendidikan tidak bisa ditunda.
Catatan kaki :
Sumber: http://www.semipalar.net/tulisan/tulisan11.html
<< Home