Pertukaran Budaya Merapi-Bandung
PERBEDAAN etnik, bahasa, budaya dan lingkungannya yang membesarkan, ternyata bukan masalah yang bisa memisahkan dua kelompok anak yang berbeda. Bahkan, melalui "pertukaran budaya", sekat-sekat sentimen kedaerahan yang belakangan ini tampil dalam tataran politik nasional kita ternyata dalam dunia anak-anak bisa lepas dengan sendirinya.
Tanpa memasalahkan asal-usulnya, kedua kelompok anak tersebut bisa berinteraksi secara intens dalam program pertukaran budaya "Merapi-Bandung", 30 Juni-2 Juli. Menyaksikan mereka, seolah-olah kita menyaksikan sebuah generasi Indonesia baru yang kesehatan raganya terjaga, kehalusan rasanya terbina, serta kesinambungan hubungan antarmanusia dan alam lingkungan senantiasa mendapat penghargaan sebagaimana mestinya.
Kelompok yang satu, sekitar 27 anak, sengaja diboyong ke Bandung dari tempat asal mereka di Dusun Tutup Ngisor yang daerahnya terletak di kaki Gunung Merapi, Jateng. Anak-anak desa yang tempat tinggalnya sekitar 15 km dari Muntilan itu memiliki latar belakang budaya yang unik sekaligus menarik. Mereka merupakan komunitas solid anak-anak petani yang dibangun oleh figur Romo Yososoedarmo. Pastor Romo Yososoedarmo mendirikan Padepokan Cipto Budoyo pada tahun 1937 yang sekaligus memperkenalkan filosofi hidup swadaya dan tenteram, di antara khaos Gunung Merapi. Sedangkan kelompok lainnya adalah anak-anak kota yang selama ini tergabung dalam sanggar seni di Bandung. Mereka setidaknya sudah terpengaruh gaya hidup dan bentuk serta permainan yang individualistik dengan lingkungannya.
Akan tetapi, melalui nalurinya sebagai anak-anak, selama tiga hari berada di Bandung mereka telah berinteraksi tanpa merasa dibatasi oleh perbedaan bahasa, lingkungan dan budaya. Di "Rumah Nusantara", mereka berbaur dalam berbagai kegiatan dalam suasana yang sangat akrab. Anak-anak Dusun Ngisor belajar melukis dan melakukan kegiatan kesenian lainnya yang selama ini dilakukan anak-anak di kota. Sebaliknya, anak-anak dari berbagai sanggar di Bandung belajar tari dan kesenian yang selama ini dilakukan anak-anak Dusun Ngisor.
Sebagai anak yang tumbuh dalam tradisi agraris, anak-anak Dusun Tutup Ngisor memiliki bentuk-bentuk kesenian yang unik dan umumnya bersifat kolaboratif. Dari yang ringan dengan permainan sebagai unsur utamanya seperti jamuran -yang terikat secara ketat seperti kobrasiswo atau jatilan- hingga yang berpola literer seperti wayang orang.
Program pertukaran budaya "Merapi-Bandung" merupakan kerja sama Padepokan Cipto Budoyo Desa Tutup Ngisor Gunung Merapi dengan Studio Mendut, Jendela Ide Bandung, Studio Rumah Pertunjukan Bandung (SRPB) dan Rumah Nusantara. Puncak acaranya ditutup dengan pergelaran wayang wong cilik, menampilkan cerita Anggodo Balik pada Minggu (2/7) malam di Taman Budaya Jabar. (hers)
<< Home