Saturday, June 25, 2005

Botol-botol pun Bernotasi ”Daminatila”

SEPERTINYA, musik bisa dianggap sebagai salah sebuah bidang yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Atas nama kebebasan berekspresi itulah, lakuan apa pun terhadap musik menjadi sah adanya, termasuk dalam hal alat apa yang digunakan saat menyuguhkan musik.

Di dalam khazanah musik kontemporer, apa pun di dunia bisa dianggap sebagai musik. Desir angin bisa dianggap musik. Pun demikian kicau burung, deru ombak, gemerecik air, gonggongan anjing, auman harimau, dan sebagainya. Bahkan, seniman bengal asal Bandung Harry Roesli (alm.) memandang bahwa pukulan pada kaleng kerupuk adalah musik. “Ini Jazz,” tegasnya dalam sebuah festival musik Jazz di Jakarta, beberapa tahun lalu.

Berlatar pemahaman itu jugalah agaknya sejumlah murid SMAN 16 Bandung membentuk sebuah kelompok perkusi. Mereka didaulat tampil di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) pada hari terakhir pelaksanaan Festival Kebebasan Berekspresi, Ahad (5/6). Uniknya, mereka menggunakan sejumlah barang yang “tak lazim” sebagai pendukung penampilan, seperti tong (seng dan plastik), galon air mineral, rantang, dan berjenis botol minuman yang terbuat dari beling. Tentu saja, selain itu, mereka juga menggunakan sejumlah alat musik ”konvensional”, seperti kendang, terbang, dan kacapi. Satu lagi alat musik yang “aneh” adalah dolidu, alat musik yang tampaknya terbuat dari kayu sepanjang kira-kira 1,2 meter, berbentuk menyerupai klarinet, dan memiliki suara yang ”superbas”.

Saat tampil, ternyata kendang dan kacapi tak mendominasi suguhan, sebagaimana biasa terdengar di dalam pentas musik --khususnya yang mengusung ”aroma” Sunda. Di dalam beberapa repertoar yang dimainkan, kacapi ”hanya” berfungsi sebagai pembuka. Itu pun cuma digenjreng, bukan dengan petikan yang kemudian memunculkan melodi.
Pun demikian, kendang tak difungsikan maksimal.Tepakan-tepakan kecil saja yang diberikan kepada alat musik tersebut. Suaranya bahkan kalah keras dengan tabuhan pada terbang (yang dijadikan sebagai penutup ”buntut” galon air mineral), rantang, dan pukulan pada tong yang menyerupai genderang perang.
Sepanjang penampilan, fungsi melodi ”dibebankan” sepenuhnya kepada botol tadi. Empat belas botol dari berbagai ukuran dideretkan ”bersap”. Dua gadis bertugas sebagai penabuh. Ternyata, botol-botol itu memiliki notasi mirip dengan tangga nada musik Sunda, daminatila. Terlepas dari pola permainan yang belum begitu harmonis, keberanian menggunakan sejumlah barang ”tak lazim” dan kemudian memasukkan ke dalam musik layak diacungi jempol. Itulah salah satu wujud kebebasan berekspresi, setidaknya di dalam musik.
”Ruang luas” kebebasan berekspresi rupanya tak dimanfaatkan oleh siswa-siswi SMP Assalaam Bandung saat tampil pada rangkaian sebelumnya. Delapan djimbe (alat musik pukul khas Afrika) yang digunakan, hanya ditabuh dengan ”polos”, sekadar pengiring akor dan melodi. Sama sekali tak terjadi improvisasi pada alat musik pukul tersebut guna memberikan roh pada penampilan.
Dua puluh tiga siswa-siswi yang terlibat sebagai pemusik. Delapan penabuh djimbe, 2 orang penabuh saron, seorang pada kecrek, seorang pemain keyboard, dan sebelas pemain angklung. Mengawali penampilan, mereka menyuguhkan lagu “Kopi Dangdut”, di mana angklung dan keyboard bertindak sebagai melodi. Itu tadi, tak ada yang ”aneh” sepanjang lagu tersebut. Semua alat musik yang dimainkan tampak tak ingin ”keluar” dari jalur lagu.
Saat interlude, yang muncul justru intro lagu ”Final Countdown” pada keyboard. Padahal, yang terbayangkan, djimbe dan saron ”berduet” --dengan berbagai model tabuhan-- sehingga performa menjadi lebih berwarna. ”Duet” saron dan djimbe sempat sesaat terdengar begitu mereka mengawali repertoar ketiga, “Pengalaman Pertama”. Sama halnya dengan repertoar pertama, tak terjadi ”eksplorasi” pada pukulan djimbe dan saron. Pada saat itu, yang justru dimunculkan adalah bagian refrain lagu ”Cindai”. Alhasil, penampilan ”polos” murid SMP Assalaam itu hanya berlangsung selama 15 menit.
Pukulan pada djimbe yang penuh warna baru didapat ketika pengisi acara berikutnya ditampilkan, Jendela Ide Kids Percussion. Berbagai improvisasi mahir mereka lakukan dalam beberapa repertoar yang disuguhkan. Sesekali, masing-masing dibiarkan menampilkan atraksi pukulan djimbe. Uniknya, ”segila” apa pun anak-anak asuhan Adjierao itu berimprovisasi, tak pernah keluar dari tempo yang menjadi ”jalur utama” penampilan.
Entah mengapa, terasa ada sesuatu yang kurang pada penampilan Jendela Ide, kali ini. Meski mereka bisa dikatakan tampil all out, terasa penampilan itu kurang menggigit. Apalagi, jika dibandingkan ketika mereka tampil di ajang Jakarta International Java Jazz Festival, dua bulan lalu di Jakarta. Penampilan menggigit semakin ditegaskan oleh penampilan musisi asing Steve Reid dan penampilan para penari dari Deddy Luthan Dance Company. (Hazmirullah/”PR”)***
<<< back to Jendela Ide