Pendidikan Komunitas, Solusi di Tengah Krisis?
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." (Pasal 31 Amendemen UUD 1945 ayat 1 dan ayat 2).
GENAP 60 tahun sudah, sejak proklamasi kemerdekaan negeri ini digaungkan oleh dua founding fathers, Soekarno-Hatta. Melihat fakta kehidupan sosial berbangsa dewasa ini, sulit untuk tidak mengakui bahwa masih banyak ketimpangan dan persoalan pelik yang tetap saja menggerogoti kehidupan bangsa ini.
Pendidikan adalah potret nyata betapa kemerdekaan sejatinya baru dalam tataran de jure. Sebab, de facto mayoritas warga negeri ini masih harus bercucuran keringat deras, air mata, bahkan darah untuk memenuhi pendanaan pendidikan anak-anak mereka.
Fakta tersebut menambah panjang kisah memilukan pendidikan di negeri ini yang penuh ironi. Betapa masih menggantungnya persoalan-persoalan pelik dalam sistem pendidikan kita. Mulai dari runtuhnya kewibawaan guru karena beragam sebab, robohnya bangunan-bangunan sekolah di tengah semakin mewabahnya gejala konsumtivisme, seiring berdirinya ribuan mal dan pusat perbelanjaan, eksperimen kurikulum dengan grand design yang tidak jelas, komersialisme dunia pendidikan, hingga degradasi mutu.
Pendidikan komunitas
Toh, di tengah gejala termarginalkannya upaya peningkatan kualitas pendidikan secara serius oleh pemerintah muncul fenomena sosial tersendiri di tengah masyarakat. Seakan ingin membuktikan secara nyata konsep civil society (masyarakat madani), pada paruh kedua dekade reformasi semakin banyak kelompok masyarakat yang membangun model pendidikan sendiri. Umumnya, model ini berupaya menjawab sendiri kebutuhan akan kesamaan kesempatan belajar dan meningkatkan kualitas anak.
Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat menawarkan konsep pendidikan yang terjangkau, ketika lembaga pendidikan formal berperilaku layaknya saudagar. Dalam konsep mereka, tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, yang sebenarnya tak lagi menampilkan kesejatian hakikat pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan.
Beberapa pegiat pendidikan di komunitas --istilah untuk konsep pendidikan alternatif tersebut-- berkumpul di Kota Bandung untuk melaksanakan workshop bertajuk "Inisiatif Masyarakat Membangun Model Pendidikan untuk Anak" di Aula Taman Budaya Jabar, 18-19 Agustus ini. Beberapa pegiat, aktivis LSM, akademisi yang hadir antara lain Andar Manik (Jendela Ide), Sutrisno Setiawan (SOS Kinderdof), Marintan Sirait, Valentina Sagala (Institut Perempuan), Ridwan Intje (MTs Sururon Garut), Susilo Adi Negoro (Sanggar Akar), dll.
"Kegiatan ini sekaligus merupakan pemetaan berbagai lembaga pendidikan di komunitas. Terkait dengan momen awal tahun ajaran baru, ini juga menjadi kampanye pengembangan pendidikan bagi anak. Selain workshop, digelar road show pameran karya dan seni pertunjukan komunitas anak," ungkap koordinator workshop, Andar Manik.
Ajang ini menjadi penting, ketika muncul pertanyaan yang mengaitkannya dengan grand design pendidikan nasional yang diusung pemerintah.
Apakah dalam grand design pendidikan nasional, model pendidikan komunitas bakal mendapat pengakuan? Bagaimanakah model pendidikan yang diinisiasi masyarakat ini, dikaitkan dengan UU Sisdiknas serta birokrasi pendidikan dengan sejumlah regulasinya? Bagaimana peluang menempatkan model pendidikan komunitas dalam garis kebijakan pendidikan nasional?
"Kami tak hendak mengontradiksikan model pendidikan yang kami inisiasi dengan kurikulum maupun paradigma yang dijalankan pemerintah. Kami menawarkan pelengkap di tengah kondisi yang kami nilai masih banyak kelemahan," tuturnya.
Harapan mereka, pemerintah tidak malah bersikap resisten atas model pendidikan alternatif yang ditawarkan. Model pendidikan alternatif itu sekadar menawarkan jawaban sederhana: pendidikan sebagai medium pembebas, bukan pemberi beban (moril dan materiil). (Erwin Kustiman/"PR")***
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/19/0302.htm