Friday, August 19, 2005

Pendidikan Komunitas, Solusi di Tengah Krisis?

Bukan untuk Mengontradiksikan dengan Kurikulum dan Paradigma yang Dijalankan Pemerintah

"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." (Pasal 31 Amendemen UUD 1945 ayat 1 dan ayat 2).

GENAP 60 tahun sudah, sejak proklamasi kemerdekaan negeri ini digaungkan oleh dua founding fathers, Soekarno-Hatta. Melihat fakta kehidupan sosial berbangsa dewasa ini, sulit untuk tidak mengakui bahwa masih banyak ketimpangan dan persoalan pelik yang tetap saja menggerogoti kehidupan bangsa ini.

Pendidikan adalah potret nyata betapa kemerdekaan sejatinya baru dalam tataran de jure. Sebab, de facto mayoritas warga negeri ini masih harus bercucuran keringat deras, air mata, bahkan darah untuk memenuhi pendanaan pendidikan anak-anak mereka.

Fakta tersebut menambah panjang kisah memilukan pendidikan di negeri ini yang penuh ironi. Betapa masih menggantungnya persoalan-persoalan pelik dalam sistem pendidikan kita. Mulai dari runtuhnya kewibawaan guru karena beragam sebab, robohnya bangunan-bangunan sekolah di tengah semakin mewabahnya gejala konsumtivisme, seiring berdirinya ribuan mal dan pusat perbelanjaan, eksperimen kurikulum dengan grand design yang tidak jelas, komersialisme dunia pendidikan, hingga degradasi mutu.

Pendidikan komunitas

Toh, di tengah gejala termarginalkannya upaya peningkatan kualitas pendidikan secara serius oleh pemerintah muncul fenomena sosial tersendiri di tengah masyarakat. Seakan ingin membuktikan secara nyata konsep civil society (masyarakat madani), pada paruh kedua dekade reformasi semakin banyak kelompok masyarakat yang membangun model pendidikan sendiri. Umumnya, model ini berupaya menjawab sendiri kebutuhan akan kesamaan kesempatan belajar dan meningkatkan kualitas anak.

Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat menawarkan konsep pendidikan yang terjangkau, ketika lembaga pendidikan formal berperilaku layaknya saudagar. Dalam konsep mereka, tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, yang sebenarnya tak lagi menampilkan kesejatian hakikat pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan.

Beberapa pegiat pendidikan di komunitas --istilah untuk konsep pendidikan alternatif tersebut-- berkumpul di Kota Bandung untuk melaksanakan workshop bertajuk "Inisiatif Masyarakat Membangun Model Pendidikan untuk Anak" di Aula Taman Budaya Jabar, 18-19 Agustus ini. Beberapa pegiat, aktivis LSM, akademisi yang hadir antara lain Andar Manik (Jendela Ide), Sutrisno Setiawan (SOS Kinderdof), Marintan Sirait, Valentina Sagala (Institut Perempuan), Ridwan Intje (MTs Sururon Garut), Susilo Adi Negoro (Sanggar Akar), dll.

"Kegiatan ini sekaligus merupakan pemetaan berbagai lembaga pendidikan di komunitas. Terkait dengan momen awal tahun ajaran baru, ini juga menjadi kampanye pengembangan pendidikan bagi anak. Selain workshop, digelar road show pameran karya dan seni pertunjukan komunitas anak," ungkap koordinator workshop, Andar Manik.

Ajang ini menjadi penting, ketika muncul pertanyaan yang mengaitkannya dengan grand design pendidikan nasional yang diusung pemerintah.

Apakah dalam grand design pendidikan nasional, model pendidikan komunitas bakal mendapat pengakuan? Bagaimanakah model pendidikan yang diinisiasi masyarakat ini, dikaitkan dengan UU Sisdiknas serta birokrasi pendidikan dengan sejumlah regulasinya? Bagaimana peluang menempatkan model pendidikan komunitas dalam garis kebijakan pendidikan nasional?

"Kami tak hendak mengontradiksikan model pendidikan yang kami inisiasi dengan kurikulum maupun paradigma yang dijalankan pemerintah. Kami menawarkan pelengkap di tengah kondisi yang kami nilai masih banyak kelemahan," tuturnya.

Harapan mereka, pemerintah tidak malah bersikap resisten atas model pendidikan alternatif yang ditawarkan. Model pendidikan alternatif itu sekadar menawarkan jawaban sederhana: pendidikan sebagai medium pembebas, bukan pemberi beban (moril dan materiil). (Erwin Kustiman/"PR")***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/19/0302.htm

Friday, August 05, 2005

First Day's Notes from Art Camp's Public Presentation

The first day of Art Camp, begin with lectures in Selasar Sunaryo Artspace that split into two sessions. The participant involve in this program until late in the afternoon. They use public transportation to set off from their accommodation site toward lecture's venue as well as the excursion location. This is part of the Art Camp Program that requiring the participant to utilize public transportation. After a quite intense session, the participant engages in an excursion to Jendela Ide. In this place, they are making interaction with the kids from Jendela Ida Kids Percussion and discovering Jendela Ide's Programs as a cultural center for children and teen.

The day ends with presentations from Art Camp's participants. This program takes place in CCF presenting 10 students in 2 sessions. In general, the European participants disclosing responds to their social environs. As a case, Nanna Debois Buhl's works offering interesting approach as it is presenting gender and feminism topic as a minor issue in North Europe. On the other side, the Asia's participants seem more stimulate in revealing their individual aspect and their own anxiety. Nonetheless, their works still based on social problem encircle them, as it revealed in the video and photographs by Erik Pauhrihzi (Indonesia) and animation by Nareerud Sompong.

Some of the participants seem wearing by their day's programs. But some of them still find some strength to sightseeing Bandung and its Saturday's night crowd and doing their 36 Frames Workshop.


Bahasa Indonesia
Catatan dari Public Presentasi Art Camp Hari Pertama
Hari pertama gelaran Art Camp dimulai dengan lecture yang dibagi menjadi dua sesi di Selasar Sunaryo Art Space. Para peserta mengikuti sesi ini hingga sore tadi. Peserta Art Camp menggunakan angkutan kota sebagai alat transportasi dari tempat mereka menginap ke tempat-tempat yang telah ditentukan untuk mengikuti lecture ataupun ekskursi. Ini memang bagian dari program Art Camp yang mengharuskan mereka untuk mencoba angkutan umum di Bandung. Setelah kegiatan yang cukup serius, peserta pun mengadakan ekskursi ke Jendela Ide. Di sana mereka bisa bermain bersama anak-anak dari Jendela Ide Kids Percussion dan mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jendela Ide sebagai pusat budaya untuk anak-anak dan remaja.

Kegiatan hari ini ditutup dengan presentasi peserta Art Camp. Ini dilakukan di CCF menghadirkan 10 siswa terbagi dalam 2 sesi. Pada umumnya peserta dari Eropa menampilkan respon terhadap keadaan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Contohnya seperti karya dari Nanna Debois Buhl. Karyanya menarik karena membicarakan gender dan feminisme di Eropa Utara, di mana isu itu tampaknya tidak lagi dilihat sebagai masalah besar. Berbeda dengan peserta dari Asia, karya-karya mereka lebih 'individual' dalam pengertian, generasi Asia pada saat ini lebih berani mengungkapkan sisi individual dan kegelisahan-kegelisahan individu. Meski tetap berakar dari konteks persoalan sosial yang ada di sekeliling mereka, seperti yang nampak pada video dan foto-foto karya Erik Pauhrihzi (Indonesia) dan animasi karya Nareerud Sompong.

Sebagian peserta merasa lelah dengan kegiatan yang mereka lakukan hari ini. Namun tidak sedikit peserta yang melanjutkan jalan-jalan dan mengerjakan workshop 36 Frames sambil menikmati Bandung di malam minggu.

Sumber: http://commonroom.info/bcfnma/artcamp2005/2005/08/first-days-notes-from-art-camps-public.html
<<< back to Jendela Ide