Orang Rindu Bermain Sambil Belajar
Dahi Ayla mengerut, kepalanya miring ke kanan, seperti meminta kupingnya mencermati nada yang keluar dari djembe yang ia pukul secara ritmis. Tangannya lincah menabuh alat musik pukul Afrika yang diletakkan di depan tubuhnya yang duduk di sebuah kursi setinggi 30 sentimeter.
Sesekali ia juga memandu teman-temannya untuk memainkan perkusi. Di sampingnya ada Bintang, Adya, Angga, dan Janus. Kelimanya adalah pemain musik cilik dari Jendela Ide.
Menurut seorang fasilitatornya, Andar Manik (45), Jendela Ide adalah sebuah lembaga budaya anak dan remaja yang memfasilitasi anak dan remaja beraktivitas di bidang seni rupa, teater, bahasa-sastra, serta olah bunyi dan gerak.
Semua aktivitas diwujudkan lewat program berkreasi, pameran, pertunjukan, pemutaran film, diskusi, pelatihan, penulisan, serta pendokumentasian. Lembaga ini didirikan pada tahun 1995 oleh seniman, pendidik, dan ahli media komunikasi.
Salah satu kegiatan yang digemari adalah bermusik dengan perkusi. Anak-anak yang berada di Jendela Ide memiliki berbagai kegiatan, salah satunya bertujuan mengasah kemampuan motorik halus.
Mereka terpisah dalam kelas-kelas secara berkelompok atau privat. Pada hari Sabtu, anak-anak dipertemukan dalam sebuah permainan kelompok yang sederhana, yaitu membunyikan alat musik pukul.
Alat yang dipakai mulanya adalah toktok. Alat musik dari kayu ini biasa dipakai penjaja bakso untuk memanggil para pembelinya.
Toktok terdiri dari dua kayu. Satu sebesar gagang telepon dan satu lagi sebesar botol minyak kayu putih ukuran 60 mililiter. Keduanya dipukul sampai menghasilkan bunyi.
Beberapa kali kegiatan itu dilakukan, "Baru deh, kelihatan ada beberapa anak berbakat memainkan perkusi. Kami kemudian memberi mereka guru khusus," ujar seorang fasilitator, Marintan Sirait (44).
Awalnya, alat musik yang dipakai adalah rebana. Setahun lalu kelas ini diajar oleh Adjie Rao, musisi perkusi yang tergabung dalam Jakarta All Star dan Wachdach Band.
Di kelas itu, anak peminat perkusi diajarkan memainkan musik dengan perkusi dan disemangati membuat komposisi musik baru.
Saat Kompas berkunjung ke tempat kegiatan Jendela Ide, anak-anak tersebut tengah memainkan musik yang diberi tajuk Barongsai yang belum selesai seluruh komposisinya.
Akan tetapi, mereka juga sudah membuat sebuah komposisi musik dengan sempurna. Komposisi yang belum berjudul itu sering mereka sebut Safri Duo.
Adya, salah seorang anak yang mempelajari perkusi, mengaku jatuh hati pada alat musik ini setelah beberapa kali ikut berlatih. "Tadinya diminta Mama dan saya enggak mau," kata Adya yang mengaku senang memainkan perkusi dan bermain bersama teman-temannya.
Kesenangan bermain adakalanya lebih menyenangkan dari permainan perkusi itu sendiri. Ayla, misalnya, tak tahan jika seminggu tak berlatih perkusi, bukan lantaran khawatir kemampuan bermusiknya menurun, tetapi karena kangen pada teman-temannya.
Kebutuhan bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain rupanya tak hanya menjangkiti para pemain perkusi yang terbilang senior di Jendela Ide. Anak-anak yang usianya lebih muda pun tergoda untuk berkumpul bersama dan membuat kelompok baru.
Mereka adalah Abbe (6), Martin (6), Gilang (7), Danika (6), dan Nisya (6). Meski tampak lesu memukul djembe di depannya, mereka mempunyai cita-cita menggebu, ingin tampil di atas panggung.
Danika, Nisya, dan Gilang, sambil malu-malu ingin bisa tampil seperti kakak-kakaknya, Angga, Janus, dan Bintang. "Di rumah saya suka diajarin Janus main djembe," kata Nisya.
Martin yang baru bergabung sebulan bercerita di rumahnya ia sering memukul galon air mineral untuk ditabuhi.
Eit… ternyata tak cuma anak-anak yunior yang tergiur untuk bermain-main dengan musik pukul itu, orangtua pun tak dapat menahan godaan musik perkusi.
"Melihat anak-anak jadi pandai bermain djembe, kami juga jadi tertarik mempelajarinya," kata Munasri (46) yang selalu mengantar dan menunggui anaknya belajar dan bermain di Jendela Ide.
Maka, ketika anak-anak meninggalkan djembe-djembe mereka di kelas untuk sejenak bermain di halaman, giliran ayah-ayah mereka yang menyerbu kelas.
Kegemasan mereka pada djembe pun ditumpahkan. Mereka berusaha keras mengeluarkan bunyi dan membangun harmoni dengan mempraktikkan ilmu yang mereka curi dari anak-anak mereka di luar kelas.
Karena ulahnya, bapak-bapak itu kemudian "dikerjai" guru musik anak-anak. Mereka mulai diberi pekerjaan rumah berupa komposisi musik yang harus dimainkan.
Komposisi tersebut ditulis dalam partitur musik perkusi. Tentu saja, sebelumnya murid di kelas "amat senior" ini diberi penjelasan bagaimana membaca dan memainkan komposisi tersebut.
Hasilnya, para ayah yang rajin mengantar anak-anaknya itu membuat kelompok musik perkusi sendiri yang diberi nama De’Babs. "Yang artinya kurang lebih para bapak," kata Ati (37), koordinator pertunjukan sekaligus istri dari Adjie Rao.
Tak cuma berhasil membuat grup musik, Sofyan misalnya, kini tak hanya memainkan djembe di saat anaknya meninggalkan kelas untuk beristirahat. Tetapi, berkolaborasi bersama anaknya, Abbe yang duduk di kelas yunior untuk memainkan djembe di rumah.
Sementara itu Munasri, ayah Janus dan Nisya, tak mau terpisah dengan djembe-nya. "Ke mana pun saya selalu bawa djembe," ujar Munasri yang didampingi istrinya, Tomomi, perempuan asal Jepang.
Kalau para ayah mempunyai ilmu baru dalam musik perkusi, para ibu sering bertukar informasi merawat anak sampai resep masakan baru.
Lulu (42), mantan atlet voli nasional, mengaku anaknya Angga yang kurang baik motorik halus tangan kirinya mulai aktif menggunakan kedua tangannya dengan memainkan perkusi.
Angga yang dulu mudah meledak-ledak kini sudah lebih kalem. Begitu pun Danika, yang awalnya tertutup dan takut berhadapan dengan orang asing, sekarang tidak lagi. (Y09)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/11/Jabar/1431683.htm
<< Home