Bumi Itu seperti Kerupuk di Atas Bubur
DALAM suatu acara sosialisasi pendidikan bencana alam untuk guru-guru Sejarah dan Geografi di SMUN 6 Cijerah, Cimahi, Jawa Barat, pada pertengahan Januari lalu, guru-guru tampak sangat tertarik.
MEREKA antusias melihat tayangan-tayangan yang diberikan T Bachtiar, ahli geografi dari Masyarakat Geografi Indonesia, dan Budi Brahmantyo, ahli geologi dari Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Elok Komariah (40), guru Geografi SMUN 9 Bandung, sudah tidak sabar bertemu murid-muridnya. Ia ingin secepatnya membagikan pengetahuannya tentang gempa dan tsunami serta potensi bencana alam di Jawa Barat kepada murid-muridnya.
Meskipun setiap hari media massa memberitakan gempa dan tsunami serta keadaan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), ternyata informasinya belum cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana orangtua, guru, dan murid.
Pemberitaan media massa justru menambah beban buat orangtua. "Saya sengaja mematikan televisi, sebab saya takut anak saya jadi trauma melihat pemberitaan tentang NAD di televisi. Soalnya, waktu saya kecil, kematian adalah sesuatu yang sangat menakutkan," kata Ny Sarah Bastaman (35).
Namun, Sarah tidak anti memberi pengetahuan tentang pendidikan bencana alam kepada anaknya. Maka, ketika Jendela Ide, sebuah lembaga pendidikan nonformal untuk anak-anak dan remaja di Bandung, mengadakan pendidikan untuk mengenal alam secara lebih dekat, Sarah pun segera membawa anaknya, Sabine (8), ikut serta. Hal yang sama dilakukan oleh Ny Shiavellia (35) atau akrab dipanggil Lia, yang membawa tiga anaknya.
"MEREKA masih terus bertanya," kata Lia yang berharap dengan menyajikan informasi dalam bentuk animasi, anak-anak bisa dengan mudah memahami. Jendela Ide lalu memfasilitasi pendidikan mengenal bumi untuk anak-anak yang disajikan oleh Dr Ir Munasri, Kepala Unit Pelaksanaan Teknik Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
"Bumi itu seperti kerupuk di atas bubur. Ia terus bergerak," kata Munasri kepada anak-anak, ketika dia memulai cerita tentang keadaan bumi. Ia menunjukkan animasi bagaimana benua yang jutaan tahun lalu bersatu dan kemudian saling berpisah.
Munasri juga menerangkan bahwa ahli kebumian telah meneliti hal itu dengan cara menemukan kesamaan fosil, iklim, batuan, dan bentuk pantai yang sama di benua-benua yang terpisah.
Saat anak-anak tampak lelah, ia membangkitkan semangat mereka dengan bermain sulap. Ia juga terus memancing anak-anak untuk bertanya dan menjawab pertanyaannya.
Munasri menerangkan soal gempa dan tsunami dengan bahasa yang sederhana. Ia menggambarkan dengan mempertemukan kedua kepalan tangannya dan memperlihatkan gerakan saling mendorong untuk menjelaskan bagaimana patahan di bumi saling mendesak dan akhirnya terpelanting yang menyebabkan gempa, dan jika terjadi di laut hal tersebut juga menyebabkan tsunami.
Untuk menghindari gempa, anak-anak diajarkan untuk bersembunyi di bawah meja sambil memegang satu kaki meja. Untuk tsunami, anak-anak disarankan berlari ke tempat yang lebih tinggi saat air laut menyurut.
Di akhir acara, Munasri yang telah memberikan pendidikan mengenal bumi untuk anak-anak di Karangsambung, Jawa Tengah, sejak tahun 2002 ini membawa anak-anak membuat hujan dari gayung yang dilubangi dan diisi air. Lalu, "hujan" tersebut diteteskan di atas tanah miring yang ditumbuhi rumput dan yang tidak ditumbuhi rumput.
"Perhatikan Nak, apa perbedaannya," saran seorang ibu sambil memeluk anaknya yang tengah memerhatikan percobaan sederhana tersebut. Anak itu dengan sigap menjawab bahwa tanah yang tidak ditumbuhi tanaman cepat rontok terbawa air. "Itu tanda tanah tersebut mudah longsor," ujar sang ibu.
Niken Anggrahini, Koordinator Program Mengenal Bumi Lebih Dekat dari Jendela Ide, menyatakan, program yang disiapkan selama dua minggu ini bisa menjawab pertanyaan anak-anak selama ini tentang bumi dan kejadian di sekitarnya.
Niken juga berharap siswa sekolah yang sudah diundang bisa menyebarluaskan pengetahuan yang didapat dari program yang dilakukan sekitar dua jam itu kepada teman-teman sekolahnya melalui majalah dinding.
Program yang sama diberikan juga oleh SMP Santa Angela, Bandung.
Pendidikan mengenal bumi diberikan kepada siswa yang tidak bisa mengikuti program studi wisata. "Bagaimanapun kami tidak bisa lepas tangan begitu saja. Meski mereka tidak ikut wisata, mereka harus mendapat tambahan pengetahuan karena itu hak mereka," kata Bonita, Pembantu Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Santa Angela.
Karena hal yang tengah aktual adalah persoalan gempa dan tsunami, SMP tersebut mengundang ahli geologi untuk berbicara di depan kelas. Munasri kembali ditunjuk berbicara di sekolah itu.
Bonita mengatakan, sekolahnya amat tertarik untuk memberikan pendidikan bencana alam kepada murid-muridnya, sayangnya kurikulum sudah sangat padat.
T Bachtiar mengatakan, pendidikan bencana alam bisa dimasukkan dengan menambah satu kompetensi dalam kurikulum yang telah ada dalam mata pelajaran Geografi. Kompetensi yang diperlukan adalah praktikum yang membahas potensi bencana alam di wilayah lokal di mana murid berada.
Menanggapi antusiasme beberapa lembaga terhadap pendidikan bencana alam, Dadang Dally, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, mengatakan, dirinya pun menganggap penting pendidikan tersebut dan tengah memikirkan untuk memasukkannya dalam kurikulum.
Kata Dadang, pihaknya segera berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan di kota dan kabupaten di Jawa Barat. "Banyak aspek yang harus dibicarakan untuk membuat kurikulum," kata Dadang yang tertarik dengan cara Jepang menyosialisasikan pendidikan keselamatan dari bencana melalui pelajaran Olahraga.
Dr Ir Surono, Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan, meskipun belum ada kurikulum, pendidikan bencana alam masih dapat dilakukan.
Ia bercerita tentang pengalamannya memberikan pendidikan bencana alam kepada murid-murid sekolah di Garut. Garut berpotensi gempa, longsor, dan letusan gunung berapi.
Surono menyosialisasikan tentang bencana alam sepulang sekolah sampai murid-murid terpaksa terlambat pulang.
"Harapan saya, orangtua bertanya pada anaknya mengapa mereka terlambat, dan anak- anak menuturkan alasannya sambil menceritakan kembali pengetahuan yang didapat dari kami pada orangtuanya," kata Surono. (Y09)
Sumber: www.kompas.com (04/02/2005)
<< Home